Thursday, October 27, 2016

Menggenggam Cahaya (bag.1)

Menggenggam Cahaya 
~Bagian 1~


Dilema, sepertinya kata itu selalu lekat dalam kehidupannya. Layaknya menghadapi simalakama, buah legenda. Menunjukkan pilihan yang sama-sama membuat derita.Dimakan, bapak meninggal. Tidak dimakan, ibu yang nyawanya meregang.

Seperti kini yang sedang ia hadapi. Jika ia memilih bertahan maka akan ada hati-hati yang tersakiti dan akan ada sosok yang menanti dalam rentang masa yang tak pasti. Tapi jika ia meninggalkan apa yang sedang ia jalani, maka ia menjelma menjadi sosok durhaka yang tak memperhatikan keinginan orang tua.

Semua bermula saat ia pulang dari perantauannya mengejar gelar sarjana. Beberapa tahun yang lalu, ia berkumpul di ruang keluarga bersama dengan ayah dan bundanya. Awalnya mereka berbincang ringan, kemudian berlanjut pada hal-hal yang terasa dalam.

Seperti orang tua kebanyakan yang ingin tahu bahwa anaknya punya bayangan masa depan agar nanti keduanya tidak mengkhawatirkan dan bisa memberi dukungan pada anak tersayang. Hingga kelak sang anak punya kehidupan yang wajar dan layak.

Demikian pula dengan orang tuanya yang bertanya apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia pun coba utarakan apa yang ia inginkan. "Saya ingin konsentrasi merintis usaha dulu, menjadi pengusaha kemudian setelah itu menikah dan melanjutkan S2."katanya kala itu.  

Ia lihat ayah dan bundanya diam saja. Ia mengira diam mereka berarti menyetujui dan mendukung semua yang ia tuturkan. Tapi saat tuturannya berakhir tampak ayahnya menghela nafas pelan dan memperbaiki posisi duduknya. Gelagat yang sudah biasa ia lihat ketika beliau hendak memberi sebuah pendapat atau nasehat yang bertentangan dengan keinginan anak-anaknya.

"Nak..." kata ayahnya, sapaan halus itu membuatnya merasa ada sesuatu.
"Abah anggap kamu sudah besar, sudah dewasa. Lagi pula kamu sudah sarjana juga sudah berkeliling jawa, nyantri ke beberapa kyai. Kira-kira menurutmu, apa bekalmu sudah cukup untuk meneruskan perjuangan Abah?"
Dia diam, mencoba meraba kemana arah pembicaraan yang ayahnya inginkan.

"Memang setiap orang bisa menjadi apa saja, boleh apa saja. Abah juga tidak menghalangi anak-anak Abah bercita-cita, bercita-cita apa saja. Asal itu dalam kebaikan dan tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu yang kamu dapatkan di pesantren-pesantren yang dulu pernah kamu tinggali."

"Boleh-boleh saja kamu jadi pengusaha, Abah dan Ummimu tetap mendukung tapi Abah dan Ummimu juga punya rencana dan keinginan, itu pun kalau kamu berkenan mengabulkan keinginan Abah dan Ummi."

Sejenak ruangan itu dalam keheningan, ia tak tahu hendak berkata apa. Yang ia tahu lebih baik diam dan mendengarkan semua tuturan yang disampaikan. Suasana ini tak seperti biasa yang ia rasa, tak akan dia bantah atau mengejar dengan berlusin kata tanya "kenapa". Karena sebelumnya tak pernah ayah dan ibundanya mengutarakan keinginan dengan cara seperti ini, seakan kali ini keduanya sedang memohon padanya.

"Abah dan Ummi sudah tua, sudah tidak sekuat dulu. Harapan Abah dan Ummi tinggal kamu. Masmu sudah diminta untuk membantu di pesantren mertuanya. Mbak-mbakmu juga sudah ikut suami mereka. Kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menghidupkan tempat ini?"

Jelaslah kini apa yang dikehendaki orang tuanya. Mereka ingin dia tinggal dan meneruskan langkah perjuangan yang telah dirintis oleh leluhurnya. Sebuah pesantren warisan kakeknya telah menanti kiprahnya. Dia memang belum sempat berpikir ke arah sana tapi telah menjadi niatnya pula muara akhir nanti adalah kembali ke rumah, merawat kedua orang tuanya dan mengembangkan apa yang telah dirintis oleh keduanya.

"Insya Allah Abah, saya tetap akan pulang dan siap membantu mengembangkan pesantren."

Ayahnya tampak menganguk-anguk mendengar perkataannya. "Tapi saya hanya ingin mencoba bagaimana nanti bisa mandiri secara finansial sehingga tidak menggantungkan pemasukan dari gaji mengajar dari yayasan yang Abah dirikan atau dari proposal-proposal sumbangan, makanya saya ingin jadi pengusaha yang sukses. Sedangkan untuk gelar S2 itu juga tidak lepas dari perkembangan zaman. Pesantren kita kan sudah merambah ke pendidikan formal, jadi saya kira butuh cara-cara baru untuk mengembangkannya. Di samping juga orang zaman sekarang lebih melihat gelar pendidikan dari pada repot-repot meneliti keahlian seseorang yang tak punya titel di belakang namanya." Panjang lebar ia coba jelaskan tentang jalan pilihan yang hendak ia lalui.

"Begitu ya hmm, Abah paham. Tapi tiba-tiba Abah ingin sebelum Abah meninggal ada satu putera Abah yang hafal Al Qur’an. Abah ingin kelak bisa mendapat kiriman bacaan Al Qur’an dari anak Abah yang hafidz. Itu pun kalau kamu mau meluangkan waktu untuk nyantri lagi."

Kembali ia terdiam agak lama. Tak terpikir sebelumnya untuk menghafalkan kitab suci yang lumayan tebal itu meskipun ia tahu keutamaan-keutamaan dan hal-hal yang dijanjikan Tuhan bagi para penghafal al Qur’an. Apa lagi kalau dia harus pergi lagi dari rumah, kembali ke lingkungan baru yang asing, kembali ke bilik-bilik pesantren sedang sedari kecil dia tak pernah lepas dari lingkungan itu. Karenanya kadang dia merasa jenuh dan menginginkan hal baru, hal yang berbeda dan tidak melulu berjumpa dengan budaya kaum bersarung.

Selepas sekolah dasar hingga selesai Madrasah Aliyah ia sudah jauh dari rumah. Kuliah S1nya pun ia tunda demi mendalami agama di pesantren-pesantren tradisional yang masih menerapkan gaya klasik dalam mengajarkan kitab-kitab berbahasa arab. Maka dari itu di usianya yang ke 25 dia baru menselesaikan program sarjana. Kalau dia harus kembali ke pesantren lagi dan menjadi santri tentu beban mentalnya berbeda, lebih-lebih jika ia harus berkumpul dan belajar di kelas yang sama dengan santri yang jauh lebih muda darinya, tak terbayangkan bagaimana ia akan bersikap. Gengsinya tumbuh untuk memulai hal baru di tempat dan keadaan semacam itu.

Tapi di sisi lain dia juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Sedari dulu keduanya selalu memenuhi pintanya. Orang tuanya juga tak pernah menyuruh sesuatu kecuali untuk kebaikan masa depan dirinya. Dan kini ketika mereka meminta satu hal padanya apakah bisa dikatakan berbakti jika ia tak memenuhi?

"Atau begini saja..." Ibundanya yang sedari tadi hanya mengikuti pembicaraan mulai urun suara. "Bagaimana jika rencanamu untuk merintis usaha ditunda sebentar, nanti setelah kamu menghafal Al Qur’an langsung menikah saja. Untuk urusan nafkah toh kita juga punya sawah yang ada bagianmu. Juga ada toko di pesantren yang nanti bisa dikembangkan bersama istrimu." lanjutnya.

"Begitu juga bagus." Ayahnya ikut menimpali
"Jadi kamu tidak perlu khawatir dengan urusan penghasilan selama kamu menghafal Al Qur’an, tapi Abah dan Ummimu tidak memaksa, semua keputusan ada padamu. Kalau kamu nyantri lagi, mau menghafal Al Qur’an dan jadi hafidz Abah seneng, Ummimu juga seneng. Tapi kalau tidak ya tidak apa-apa. Abah dan Ummimu tetep seneng, yang penting kamu jadi anak sholeh."

Abahnya tetap tersenyum saat mengatakan itu, tampak ketulusan disana. Tak memaksa, demi kebahagiaan sang putra. Hatinya terasa basah mendapati hal itu.
"Ah, betapa benar kata sebuah ungkapan, kasih orang tua sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Mereka merawat sang anak demi mengharap kehidupan, sedang sang anak merawat keduanya demi menanti kematian."

Dalam bimbang dan keraguan, antara menuruti keinginan kedua orang tua atau keinginannya sendiri ia coba menimbang segala kemungkinan. Seharusnya ia tak perlu ragu, bukankah tak selamanya dia bisa bersama kedua orang tuanya, kapan lagi ia bisa membuat keduanya bahagia. Jika di dunia tak ada lagi kesempatan dan tak ingin menyesal di hari depan karena tak sempat membahagiakan maka sekaranglah saatnya untuk sedikit membalas kebaikan yang telah ia terima. Tak ada ruginya dia mengikuti permintaan orang tua, lebih-lebih dia tahu yang diinginkan orang tuanya adalah kebaikan. Tak ada alasan untuk menolak dan mengelak, apa lagi jika hanya mengikuti keegoisan diri, jika demikian sungguh lakunya tak terpuji. 

"Bagaimana?" Tanya ibundanya meminta kepastian. Dan tanpa ragu ia pun menganguk patuh sembari berkata, "Iya, saya akan melakukannya."

============================
Kudus, Agustus 2015
Bersambung.....

No comments:

Post a Comment